Cakrawala tak
tampak di ufuk barat, awan bersama matahari pun ikut tak menampakkan
keindahannya sore ini. Hanya angin kencang yang menghempas raga ini.
Kuncup-kuncup harapan tumbuh bermekaran masih menjadi angan. Waktu begitu cepat
berlalu, hidup terasa datar tuk dijalani.
Duduk di
sebuah karang besar di sebuah pantai, ditemani kepiting dan keong yang asik
bermain ombak. Tangan kananku memegang ranting kecil untuk mempermainkan si
kepiting yang sukses membuat aku iri, sedangkan tangan kiriku menggenggam kekosongan.
Begitu juga dengan angin yang begitu kencang menghempas semua kenangan-kenangan
yang telah terukir dan tertulis yang tak semudah ombak menghapus ukiran dan
tulisan di atas pasir untuk melupakan dan mengenyahkannya. Masih termenung
dengan keadaanku yang sederhana yang membuat keadaan seperti ini. Kata-kata
kejam yang masih teringat yang terucap dari seseorang yang aku sayang, membuat
duniaku berbalik dan terasa berhenti berputar.
****
Pagi itu,
Ulan –orang yang sangat berarti dihidupku- denganku di sebuah bukit berdebat
tentang keadaanku. Aku yang tak bisa memberi apa yang dia suka ataupun yang dia
mau membuat klimaks dalam hubungan kita.
“aku cewek
normal, aku minta juga yang wajar, aku ga pernah minta yang berlebihan,
permintaanku itu-itu aja, anterin aku ke kampus, anterin kemanapun aku pergi,
itu juga aku belum minta aku mau makan di restaurant bintang lima, belum lagi
kalo aku minta kamu ngambilin bunga di puncak gunung itu. Aku tau kamu bakalan
ga bisa nurutin, ada aja alasan kamu, ga ad motor, bensin habis lah, nabunglah,
itulah, inilah, ahhhh…. Banyak alasanmu…” bentaknya saat aku berusaha untuk
menjelaskan.
“ga usah
kamu ngomong apa-apa lagi. Emang kamu
baik, kamu bisa ngerti aku, kamu bisa bantu aku di saat aku susah, kamu ada di
saat aku susah, tapi pernah kamu liat pasangan-pasangan lain? Mereka bisa
jalan-jalan sesuka hati, mereka bisa dapatkan apa yang mereka mau tanpa harus
meminta dulu. Sedangkan kita apa? Paling untung kamu ajak aku ke bukit ini lagi
dan lagi.” Lanjutnya sambil membalikkan badan seakan tak mau malihat tatapan
mataku yang mengartikan bahwa dialah segalanya.
Aku memilih
untuk diam, aku menunduk mengisyaratkan aku memohon untuk tidak seperti ini. Aku
menggenggam erat tangannya yang berusaha untuk dia lepas.
“lebih baik
kita break. Kamu renungin masalah ini. Aku sadar aku memang egois, tapi ini
yang aku mau, aku bosan dengan keadaan yang seperti ini terus. Sebelum kamu
menemukan jawaban atas masalah ini jangan hubungi aku. Kamu boleh hubungin aku
setelah kamu dapat jawabannya, jangan hubungin aku kalo hanya untuk memohon dan
merengek.” Kata-kata yang mengakhiri pertemuan itu, dia hempaskan tanganku dan
mataku melihat langkah kakinya yang semakin menjauh meninggalkan aku dan
renunganku saat itu.
****
Deburan ombak
menyadarkanku dari lamunanku, aku rasa aku sudah menemukan jawabannya setelah
satu minggu lebih memikirkannya. Dia yang sudah menemaniku, sudah menjadi
bagian hidupku, akan aku ikhlaskan semuanya. Apapun yang akan terjadi.
Aku bangkit
dari karang itu dan bergegas pergi meninggalkan tempat ini. Tanpa aku arahkan,
kaki-kakiku tau harus kemana. Tak beberapa lama aku temukan yang sudah menjadi
bagian hidupku.
“aku sudah
menemukan jawabannya,” kataku tanpa basa basi lagi.
“Apa?”
“inilah aku
Lan, dan kamu sudah tau dari dulu. Aku emang ga bisa nurutin apa yang kamu mau,
aku ga bisa apa-apa seperti pasangan lain. Asal kamu tau, kamu sudah jadi
bagian hidupku, sudah menjadi nafas dari raga ini. Karena satu hal yang membuat
aku seperti itu, aku ingin kamu menjadi masa depanku.” Berharap dia bisa
mengerti penjelasanku.
“maksudmu?”
“aku ga bisa
ngajak kamu makan ke restaurant bintang lima, karena nanti saat kita tua, aku
yang akan membuatkanmu layaknya sebuah restaurant bintang lima walaupun di
sebuah meja kecil, yang hanya ada menu dari masakanku yang aku masak penuh
dengan kasih di rumah kita nanti. Karena di saat kamu tidak bisa melihat tanpa
kaca matamu, aku yang akan menuntunmu kemanapun yang kamu mau. Karena di saat
kamu tidak sanggup untuk berjalan sendiri, aku yang akan membantumu untuk
berjalan menuju apa yang kamu mau.” Aku terdiam sejenak dan dia pun terdiam. “aku
tidak bisa membelikanmu apa yang kamu mau sekarang karena uang yang harusnya
aku gunakan untuk membelikan apa yang kamu mau aku tabung untuk pernikahan
kita, untuk merawat anak kita kelak, untuk masa tua kita nanti. Dan aku pun tak
kan bisa mengambilkanmu sekuntum bunga di puncak gunung itu, karena kelak akan
aku buatkanmu taman dengan sejuta bunga di taman rumah kita nanti” kataku
mengakhiri apa yang ingin aku katakan.
Aku melihat
dia meneteskan air mata, dan tak berani untuk menatapku. Ingin rasanya aku
memeluk untuk menenangkan hatinya yang dilema dan menghapus air mata yang
membasahi pipinya.
“sekarang
kamu tau kenapa aku seperti ini sekarang, karena semua untuk masa depan kita,
untuk semua mimpi yang ingin aku wujudkan kelak hanya bersamamu. Bukan aku yang
harus memutuskan, sekarang kamu bisa memutuskannya. Aku sudah ikhlas, dan aku
akan tegar walau apapun yang akan terjadi.”
Keadaan hening
setelah aku lega telah mengucapkan segalanya. Walaupun ada sedikit beban
dipundakku, apakah ini akan berakhir atau sebaliknya. Akupun tertunduk,
menggenggam kekosongan dengan kedua tanganku.
“Indra,
maafkan aku. Tak seharusnya aku meminta itu semua kalo seandainya aku tau kalo
itu untuk masa depan yang telah kamu persiapkan. Aku tersadar dengan
kata-katamu. Aku tak akan melepaskanmu yang telah begitu ikhlas menyayangiku.
Ndra, maafin aku…” kata Ulan sembari memegang erat kedua tanganku yang
mengepal.
“Tak ada yang
perlu dimaafkan Lan, ini wajar terjadi, tapi aku ingin kamu mengerti. Bukan dengan
setangkai bunga aku mengungapkan rasaku padamu, tapi dengan janjiku untuk
bersamamu selamanya.” Genggamannya aku lepas, dan aku memeluknya dengan erat. Malam
yang indah dan sempurna aku rasakan hari ini.
**END**
No comments:
Post a Comment