Sunday, March 18, 2012

BUKAN DENGAN SETANGKAI BUNGA


Cakrawala tak tampak di ufuk barat, awan bersama matahari pun ikut tak menampakkan keindahannya sore ini. Hanya angin kencang yang menghempas raga ini. Kuncup-kuncup harapan tumbuh bermekaran masih menjadi angan. Waktu begitu cepat berlalu, hidup terasa datar tuk dijalani.
Duduk di sebuah karang besar di sebuah pantai, ditemani kepiting dan keong yang asik bermain ombak. Tangan kananku memegang ranting kecil untuk mempermainkan si kepiting yang sukses membuat aku iri, sedangkan tangan kiriku menggenggam kekosongan. Begitu juga dengan angin yang begitu kencang menghempas semua kenangan-kenangan yang telah terukir dan tertulis yang tak semudah ombak menghapus ukiran dan tulisan di atas pasir untuk melupakan dan mengenyahkannya. Masih termenung dengan keadaanku yang sederhana yang membuat keadaan seperti ini. Kata-kata kejam yang masih teringat yang terucap dari seseorang yang aku sayang, membuat duniaku berbalik dan terasa berhenti berputar.
****
Pagi itu, Ulan –orang yang sangat berarti dihidupku- denganku di sebuah bukit berdebat tentang keadaanku. Aku yang tak bisa memberi apa yang dia suka ataupun yang dia mau membuat klimaks dalam hubungan kita.
“aku cewek normal, aku minta juga yang wajar, aku ga pernah minta yang berlebihan, permintaanku itu-itu aja, anterin aku ke kampus, anterin kemanapun aku pergi, itu juga aku belum minta aku mau makan di restaurant bintang lima, belum lagi kalo aku minta kamu ngambilin bunga di puncak gunung itu. Aku tau kamu bakalan ga bisa nurutin, ada aja alasan kamu, ga ad motor, bensin habis lah, nabunglah, itulah, inilah, ahhhh…. Banyak alasanmu…” bentaknya saat aku berusaha untuk menjelaskan.
“ga usah kamu  ngomong apa-apa lagi. Emang kamu baik, kamu bisa ngerti aku, kamu bisa bantu aku di saat aku susah, kamu ada di saat aku susah, tapi pernah kamu liat pasangan-pasangan lain? Mereka bisa jalan-jalan sesuka hati, mereka bisa dapatkan apa yang mereka mau tanpa harus meminta dulu. Sedangkan kita apa? Paling untung kamu ajak aku ke bukit ini lagi dan lagi.” Lanjutnya sambil membalikkan badan seakan tak mau malihat tatapan mataku yang mengartikan bahwa dialah segalanya.
Aku memilih untuk diam, aku menunduk mengisyaratkan aku memohon untuk tidak seperti ini. Aku menggenggam erat tangannya yang berusaha untuk dia lepas.
“lebih baik kita break. Kamu renungin masalah ini. Aku sadar aku memang egois, tapi ini yang aku mau, aku bosan dengan keadaan yang seperti ini terus. Sebelum kamu menemukan jawaban atas masalah ini jangan hubungi aku. Kamu boleh hubungin aku setelah kamu dapat jawabannya, jangan hubungin aku kalo hanya untuk memohon dan merengek.” Kata-kata yang mengakhiri pertemuan itu, dia hempaskan tanganku dan mataku melihat langkah kakinya yang semakin menjauh meninggalkan aku dan renunganku saat itu.
****
Deburan ombak menyadarkanku dari lamunanku, aku rasa aku sudah menemukan jawabannya setelah satu minggu lebih memikirkannya. Dia yang sudah menemaniku, sudah menjadi bagian hidupku, akan aku ikhlaskan semuanya. Apapun yang akan terjadi.
Aku bangkit dari karang itu dan bergegas pergi meninggalkan tempat ini. Tanpa aku arahkan, kaki-kakiku tau harus kemana. Tak beberapa lama aku temukan yang sudah menjadi bagian hidupku.
“aku sudah menemukan jawabannya,” kataku tanpa basa basi lagi.
“Apa?”
“inilah aku Lan, dan kamu sudah tau dari dulu. Aku emang ga bisa nurutin apa yang kamu mau, aku ga bisa apa-apa seperti pasangan lain. Asal kamu tau, kamu sudah jadi bagian hidupku, sudah menjadi nafas dari raga ini. Karena satu hal yang membuat aku seperti itu, aku ingin kamu menjadi masa depanku.” Berharap dia bisa mengerti penjelasanku.
“maksudmu?”
“aku ga bisa ngajak kamu makan ke restaurant bintang lima, karena nanti saat kita tua, aku yang akan membuatkanmu layaknya sebuah restaurant bintang lima walaupun di sebuah meja kecil, yang hanya ada menu dari masakanku yang aku masak penuh dengan kasih di rumah kita nanti. Karena di saat kamu tidak bisa melihat tanpa kaca matamu, aku yang akan menuntunmu kemanapun yang kamu mau. Karena di saat kamu tidak sanggup untuk berjalan sendiri, aku yang akan membantumu untuk berjalan menuju apa yang kamu mau.” Aku terdiam sejenak dan dia pun terdiam. “aku tidak bisa membelikanmu apa yang kamu mau sekarang karena uang yang harusnya aku gunakan untuk membelikan apa yang kamu mau aku tabung untuk pernikahan kita, untuk merawat anak kita kelak, untuk masa tua kita nanti. Dan aku pun tak kan bisa mengambilkanmu sekuntum bunga di puncak gunung itu, karena kelak akan aku buatkanmu taman dengan sejuta bunga di taman rumah kita nanti” kataku mengakhiri apa yang ingin aku katakan.
Aku melihat dia meneteskan air mata, dan tak berani untuk menatapku. Ingin rasanya aku memeluk untuk menenangkan hatinya yang dilema dan menghapus air mata yang membasahi pipinya.
“sekarang kamu tau kenapa aku seperti ini sekarang, karena semua untuk masa depan kita, untuk semua mimpi yang ingin aku wujudkan kelak hanya bersamamu. Bukan aku yang harus memutuskan, sekarang kamu bisa memutuskannya. Aku sudah ikhlas, dan aku akan tegar walau apapun yang akan terjadi.”
Keadaan hening setelah aku lega telah mengucapkan segalanya. Walaupun ada sedikit beban dipundakku, apakah ini akan berakhir atau sebaliknya. Akupun tertunduk, menggenggam kekosongan dengan kedua tanganku.
“Indra, maafkan aku. Tak seharusnya aku meminta itu semua kalo seandainya aku tau kalo itu untuk masa depan yang telah kamu persiapkan. Aku tersadar dengan kata-katamu. Aku tak akan melepaskanmu yang telah begitu ikhlas menyayangiku. Ndra, maafin aku…” kata Ulan sembari memegang erat kedua tanganku yang mengepal.
“Tak ada yang perlu dimaafkan Lan, ini wajar terjadi, tapi aku ingin kamu mengerti. Bukan dengan setangkai bunga aku mengungapkan rasaku padamu, tapi dengan janjiku untuk bersamamu selamanya.” Genggamannya aku lepas, dan aku memeluknya dengan erat. Malam yang indah dan sempurna aku rasakan hari ini.
**END**

No comments:

Post a Comment

Web Analytics